Pada tahap awal pendidikan Islam itu berlangsung secara informal. Para mubaligh banyak memberikan contoh teladan dalam sikap hidup mereka sehai-hari . Para mubaligh itu menunjukkan akhlaqul karimah, sehingga masyarakat yang didatangi menjadi tertarik untuk memeluk agama Islam dan mencontoh perilaku mereka. Lewat pergaulan antara mubaligh dengan masyarakat sekitar terkadang juga lewat perkawinan antara pedagang muslim atau mubaligh dengan masyarakat sekitar terbentuklah masyarakat muslim. Masyarakat muslim inilah yang merupakan cikal bakal tumbuh berkembangnya kerajaan Islam.
Setelah masyarakat muslim terbentuk, maka perhatian pertama kali ialah mendirikan rumah ibadat (masjid langgar atau mushalla). Karena kaum muslimin diwajibkan shalat lima waktu dan dianjurkan untuk berjamaah, kemudian sekali seminggu diwajibkan untuk melaksanakan sholat Jum’at. Dipastikan sejak saat itulah mulai berlangsungnya pendidikan Islam secara nonformal.
Ada beberapa lembaga Pendidikan Islam awal yang muncul di Indonesia.
1. Masjid dan Langgar
Masjid fungsi utamanya ialah untuk tempat shalat lima waktu , ditambah dengan sekali seminggu sholat Jum’at, dan dua kali setahun dilaksanakan shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Selain itu dari masjid ada juga tempat ibadah yang disebut langgar, bentuknya lebih kecil dari masjid dan digunakan untuk shalat liwa waktu , bukan untuk shalat Jum’at.
Selain dari fungsi utama, masjid dan langgar juga berfungsi untuk tempat pendidikan. Ditempat ini dilakukan pendidikan buat oarang dewasa maupun anak-anak. Pengajian yang dilakukan untuk orang dewasa adalah penyampaian –penyampaian ajaran Islam oleh mubaligh(al-Ustadz, guru, kiyai) kepada para jamaah dalam bidang uang berkenaan dengan akidah, ibadah dan akhlak, sedangkan untuk anak-anak pengajaran berpusat kepada pengajian al-Qur’an .[1]
2. Pesantren
Menurut Sudjoko Prasodjo, “ pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, dimana seorang kiyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam psantren tersebut.” Dengan demikian dalam lembaga pendidikan Islam yang disebut pesantren tersebut, sekurang- kurangnya memiliki unsur-unsur: kiyai, santri, masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber atau bahan pelajaran.
Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya ditangan –tangan masyarakat tidak menjadi tersaing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat sekitarnya. Semuanya memberi penilaian tersendiri bahwa sistem pesantren adalah merupakan sesuatu yang bersifat “asli” atau “indigenos” Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai positif dan harus dikembangkan.[2]
Sistem pendidikan pesantren baik metode , saana fasilitas serta yang lainnya masih bersifat tradisional. Administrasi pendidikannya belum seperti sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda , nonklasikal, metodenya sorongan, wetonan hafalan.[3]
3. Meunasah, Rangkang, Dayah dan Dayah Chik
Secara etimologi meunasah berasal dari perkataan madrasah, tempat belajar atau sekolah. Bagi masyarakat Aceh meunasah tidak hanya semata-mata tempat belajar, bagi mereka menasah memiliki multi fungsi. Meunasah disamping tempat belajar , juga berfungsi sebagai tempat ibadah (shalat), tempat pertemuan, musyawarah, pusat informasi, tempat tidur, dan tempat menginap bagi musafir.
Ditinjau dari segi pendidikan, menasah adalah lembaga pendidikan awal bagi anak-anak yang disamakan dengan tingkatan Sekolah Dasar. Di menasah para murid diajar menulis/ membaca hufur Arab, ilmu agama dalam bahasa Jawi (Melayu), akhlak (Hasjmy, 1983: 192).
Uraian berikutnya tentang rangkang, rangkang adalah tempat tinggal murid, yang dibangun disekitar masjid. Menurut Qanun Meukata Alam, dalam tiap-tiap kampung harus ada satu menuasah. Majid berfungsi sebagai tempat berbagai kegiatan umat, termasuk didalamnya kegiatan pendidikan. Karena murid perlu mondok dan tinggal, maka perlu dibangun tempat tinggal murid di sekitar masjid inilah yabg disebut dengan rangkang. Pendidikan di rangkang ini terpusat kepada pendidikan agama, disini telah diajarkan kitab-kitab yang berbahasa Arab, tingkat pendidikan ini jika dibandigkan dengan sekolah saat sekarang setingkat Sekola Lanjutan Pertama (Hasjmy, 1983: 192).
Sistem pendidikan di rangkang ini sama dengan sistem pemdidikan di pesantren, murid-murid duduk membentuk lingkaran dan si guru menerangkan pelajaran, berbentuk halaqah, metode yang disampaikan di dunia pesantren disebut namanya denagn sorongan dan wetonan.
Lembaga pendidikan berikutnya yang populer di Aceh adalah dayah. Dayah berasal dari bahasa Arab zawiyah. Kata zawiyah pada mulanya merujuk kepada sudut dari satu bangunan, dan sering dikaitkan dengan masjid. Di sudut masjid itu terjadi proses pendidikan antara si pendidik dengan si terdidik. Selanjutnya zawiyah dikaitkan tarekat-tarekat sufi, dimana seorang syekh atau mursyid melakukan kegiatan pendidikan kaum sufi.
Jumlah dayah tinggi sejak dari tahun 840-1903 (Masehi) lebih 50 buah di seluruh Aceh.Hasjmy menjelaskan tentang dayah adalah sebuah lembaga pendidikan bersumber dari bahasa Arab, misalnya fikih, bahasa Arab, tauhid, tasawuf, dan lain-lain, tingkat pendidikannya adalah sama dengan tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).
Selanjutnya pendidikan dayah Chik. Dayah Chik merupakan perguruan tinggi Islam zaman dulu. Setiap kerajaan Islam di Aceh memiliki dayah Chik tersebut. Kerajaan-kerajaan Islam tersebut:
a. Kerajaan Islam Peurelak
b. Kerajaan Islam Tamiang
c. Kerajaan Islam Dayah
d. Kerajaan Islam Banda Aceh Darussalam.[4]
Dari beberapa uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa rangkang dan dayah dalam praktiknya sama dengan pesantren di Jawa.
4. Surau
Istilah surau di minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam system minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berpungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur. Fungsi surau ini semakin kuat karna struktur masyarakat minangkabau yang menganut system matrilineal. Menurut ketentuan bahwa laki-laki tak punya kamar dirumah orang tuanya, sehingga mereka diharuskan untuk tidur disurau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat penting pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan lainnya.
Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam khususnya tarekat (suluk). Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan system pendidikan halaqoh. Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-quran. Di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya. Seperti keislaman, akhlak dan ibadah, pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari.[5]
Surau berfungsi sebagai lembaga sosial buadaya,adalah fungsinya sebagai tempat pertemuan para pemuda dalam upaya mensosialisasikan diri mereka. Selain dari itu surau juga berfungsi sebagai tempat persinggahan dan peristirahatan para musafir yang sedang menempuh perjalanan. Dengan demikian surau mempunyai multifungsi.[6]
Didalam referensi lain dijelaskan pula oleh Azyumardi Azra’ bahwa surau juga menjadi tempat persinggahan bagi musafir dan sebagainya yang sedang melalui suatu desa. Dengan masuknya islam, surau juga mengalami proses islamisasi. Fungsinya sebagai tempat penginapan anak-anak bujang tidak berubah, tetapi fungsinya diperluas seperti fungsi masjid, yaitu sebagai tempat belajar membaca Al-Qur’an dan dasar-dasar agama dan tempat ibadah.[7]
Munculnya Lembaga Pendidikan Modern di Indonesia.
Timbulnya pemikiran pembaharuan Islam baik dalam bidang teknologi, sosial, dan pendidikan diawali dan dilatar belakangi oleh pembaruan pemikiran Islam yang datang dari Mesir,dimulai sejak kedatangan Napoleon. Kesadaran umat Islam tentang pentingnya arti pembaharuan adalah ketika umat Islam menyadari ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, begitu juga dalam bidang militer dari bangsa Eropa.[8]
Peristiwa ini menimbulkan kesadaran umat Islam untuk mengubah diri. Kesadaran itu menimbulkan fase pembaruan dalam periodesasi sejarah Islam. Fase pembaruan itu muncul sebagai jawaban terhadap tuntutan kemajuan zaman dan sekaligus juga sebagai respon umat Islam atas ketertinggalan mereka ketika itu dalam bidang ilmu pengetahuan.[9]
Pada awal abad ke 20, mulai berhembus ide-ide modernisasi pendidikan Islam di Indonesia.[10] Hal ini dilatar belakangi oleh dua faktor. Faktor pertama bersumber dari ide-ide yang dibawa oleh para tokoh dan ulama yang pulang ke tanah air setelah beberapa lama bermukim di luar negeri (Mesir,Makkah,Madinah). Faktor kedua yakni adanya keinginan untuk memasukkan materi pengetahuan umum dalam kurikulum pendidikan islam. Juga dari aspek metode tidak lagi hanya menggunakan metode sorogan, hafalan ,dan wetonan,tetapi adanya penggunaan metode-metode baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dari segi sistem,mulai ada keinginan yang sangat kuat untuk mengubah sistem halaqah ke sistem klasikal. Sedangkan aspek manajemen adalah penerapan manajemen pendidikan sekolah.
Steenbrink, menyebutkan ada beberapa faktor pendorong pembaruan lembaga pendidikan Islam[11], yaitu :
1. Banyaknya pemikiran untuk kembali ke Al-Qur’an dan hadits
2. Sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial belanda
3. Adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial dan ekonomi
4. Ketidak puasan masyarakat terhadap metode tradisional dalam mempelajari studi agama
Berikut merupakan beberapa lembaga modern di Indonesia, yakni sebagai berikut :
1. Madrasah
Madrasah yang berkembang di Indonesia berbeda dengan perkembangan madrasah yang ada di Timur Tengah. Madrasah di Indonesia merupakan perkembangan lebih lanjut atau pembaruan dari pesantren dan surau, sementara madrasah yang ada di timur tengah pada abad pertengahan serupa dengan lembaga pesantren yang ada di Indonesia. Di samping terdapat unsur-unsur seperti pesantren yaitu masjid, asrama dan ruang belajar, madrasah di Timur Tengah memiliki syaikh atau professor sebagai pemegang otoritas. Dalam konteks Indonesia, ini seperti keberadaan seorang kyai di pesantren. Meskipun sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia dipandang memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dari madrasah yang ada di Timur Tengah, namun keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh pembaruan pendidikan Islam di Timur Tengah.
Perkembangan Madrasah pada abad Modern ini terjadi pada kurun awal abad ke-20 di mana pendidikan Islam mulai mengadopsi mata pelajaran non keagamaan. Latar belakang pertumbuhan ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan pembaruan di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan pemerintah Hindia-Belanda.
Beberapa Ulama yang telah berjasa menggagas tumbuhnya madrasah di Indonesia, antara lain adalah Syekh Abdullah Ahmad, pendiri Madrasah Adabiyah di Padang pada tahun 1909, disusul Syekh M. Thaib Umar mendirikan Madrasah School di Batusangkar, yang sempat tutup dan dibuka kembali pada tahun 1918 oleh Mahmud Yunus. Tahun 1923 madrasah ini berganti nama Diniyah School. Pada tahun yang sama, Madrasah Diniyah Putri didirikan oleh Rangkayo Rahmah el-Yunusiyah yang sebelumnya, pada tahun 1915 Zainuddin Labai al-Yunusi mendirikan Madrasah Diniyah. Madrasah Diniyah ini kemudian berkembang di Indonesia, baik merupakan bagian pesantren, surau atau yang lain, seperti beberapa organisasi Islam kemasyarakatan yang banyak mengelola madrasah. Di antara organisasi-organisasi tersebut adalah Muhammadiyah, al-Irsyad, Perhimpunan Umat Islam (PUI), persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), al-Jami’atul Washliyah, al-ittihadiyah, Nahdatul Ulama’ dan Persatuan Islam.
Sejak lahirnya, madrasah memiliki sistem tersendiri yang menjadi ciri khas dan membedakannya dengan pesantren dan sekolah umum, yaitu adanya pemaduan pelajaran umum dan agama, meskipun pemaduan kurilkulum tidaklah sama antara satu madrasah dengan madrasah lain. secara historis, dapat dilihat bahwa madrasah telah mengalami perubahan-perubahan. Pada tahap awal madrasah semata mengajarkan mata pelajaran agama, namun pada akhirnya, sesuai dengan tuntutan zaman, madrasah memasukkan mata pelajaran umum yang semula hanya sebagai pelengkap, Namun setelah keluarnya SKB tiga menteri pada tahun 1975 yaitu SK berdasarkan kesepakatan yaitu Departemen dalam Negeri, Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yang menjembatani adanya dikotomi ilmu-ilmu umum dan agama. Dengan SKB ini tidak ada lagi perbedaan mendasar antara lulusan madrasah dan sekolah umum. Baik dalam kesempatan melanjutkan studi maupun kesempatan memperoleh peluang kerja. Dengan adanya SKB tiga mentri ini madrasah memasuki era baru, yang mana mata pelajaran umum dominan 70% namun, bukan berarti menafikan kedudukan mata pelajaran agama.
2. Perguruan Tinggi Islam
Mengkaji sejarah Perguruan Tinggi Agama Islam dapat dilacak keberadaannya sejak didirikannya Sekolah Tinggi Islam (STI) oleh Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) Padang pada tanggal 9 Desember 1940 dengan pimpinan Mahmud Yunus. Sekolah Tinggi Islam ini semula membuka fakultas Tarbiyah dan Syari’ah. Pada tahun 1941, STI ini sempat tutup dengan terjadinya peristiwa Perang Dunia II.
Pada tahun 1945, gagasan mendirikan STI kembali digulirkan sebagai kebijakan politik Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia), yaitu sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia saat itu. Dan pada akhirnya dapat berdiri kembali pada 8 Juli 1945 bertepatan dengan 27 Rajab 1364 dengan pimpinan Prof. Abdul Kahar Mudzakkir. Tidak jauh dengan konsentrasi yang diterapkan pada awal berdirinya STI tahun 1940, pada pendirian selanjutnya ini STI juga mngkonsentrasikan materi pembelajaran pada ilmu agama dan kemasyarakatan.[12]
Dalam perkembangannya, STI dilakukan perbaikan dan pengembangan dengan membuka fakultas non agama yaitu Hukum, Ekonomi dan Pendidikan. Dengan dibukanya fakultas baru pada STI ini, menjadikan STI juga berubah nama dari STI menjadi UII yang menjadikan tujuan lembaga juga bergeser dari lembaga pendidikan bagi calon ulama menjadi lebih umum dan bersifat sekuler.
Dalam perkembangan berikutnya, fakultas agama UII diubah statusnya menjadi negeri sehingga terpisah dari UII dan menjadi PTAIN (perguruan tinggi agama islam negeri). PTAIN diresmikan berdasarkan perturan pemerintah No.34 tahun 1950. Di Jakarta pada tanggal 15 Mei 1957, didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Tujuan ADIA adalah mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri untuk dijadikan ahli didik dalam bidang agama.[13]
Perkembangan selanjutnya adalah penyatuan PTAIN dan ADIA sehingga terbentuk lembaga pendidikan tinggi islam yang beru yakni IAIN (institut agama islam negeri). Dan selanjutnya seiring dengan keinginan untuk mensinergikan ilmu agama dan umum maka sejak tahun 1990an munculah wacana pengubahan IAIN menjadi UIN atau Universitas Islam Negeri.
Contoh Lembaga Pendidikan Modern Dalam Konteks Sosiologi
Dalam konteks masyarakat muslim, madrasah yang merupakan lembaga pendidikan islam tidak hanya berfungsi sebagai media untuk memelihara tradisi-tradisi Islam, tetapi lebih dari itu madrasah merupakan suatu usaha untuk melakukan perubahan sosial, madrasah juga merupakan media untuk membangun masyarakat muslim sekaligus pintu masuk bagi modernisasi islam.[14] Sehingga dari sini dapat dikutahui bahwa madrasah memiliki hubungan yang kuat dengan aspek sosiologi, sebab jika ditinjau dari segi lahirnya, madrasah muncul dilatar belakangi adanya aspek kemasyarakatan yang mendorongnya.
0 komentar:
Post a Comment